Bersepakat dengan Tuhan



            Setiap sore ku lalui begini, berjalan-jalan dengan perasaan damai untuk melepaskan penatnya masalah pekerjaan yang belum sempat ku rampungkan. Mensyukuri setiap napas yang kuhirup, namun kali ini aku begitu bosan dan sepi. Dan kali ini di dalam hati, aku membuat sebuah perjanjian usil dengan Tuhan.
            “Tuhan, Engkau Maha pemberi petunjuk, kan? Maka tolong, jika sore ini aku berjumpa dengannya, pertemukanlah hati kami dengan rasa cinta. Kemudian ikat cinta kami dengan rantai suci yang telah Rasul-Mu contohkan. Ya, Kau mungkin tahu maksudku, Tuhan. Pernikahan.” Begitu dialog batinku pada-Nya. Dalam hati, aku begitu berani bertawar-menawar dengan sang pemilik saham terbesar semesta alam, meski aku menyadari bahwa kesepakatan ini hanya aku sendiri yang menyepakati. “Aku pikir tak apa, Ia kan mengerti apa yang ada dalam setiap hati umatnya, Tuhan juga kan selalu mengasihi umatnya.” Dalam hati aku membela diri.
            Usiaku memang sudah pantas untuk memikirkan sebuah pernikahan, dengan pekerjaan yang sudah beberapa tahun kujalani ini, rasanya wajar aku menjadikan pernikahan sebagai perencanaan hidup yang harus goal dalam waktu dekat. Hanya saja, seorang pria yang selalu kulirik ini begitu pelik untuk bisa kubidik tepat di hatinya.
Di atas alasan itulah, aku bertawar-menawar dengan Tuhan untuk memastikan, haruskah aku lanjutkan hasrat berjodoh dengannya. Apakah ia yang sedang ku pikirkan ini adalah seseorang yang Kau kirim untuk mendampingi sisa perjalanan duniaku, ataukah mungkin ada sesorang yang lain.
            Perjanjianku dengan Tuhan dimulai sore ini, di sore yang ramai ini. Dengan maksud mengulur waktu agar ku bisa berjumpa dengan sang idaman hati, panggil saja ia Angga seorang laki-laki yang sudah mencuri hatiku sejak dulu, saat kami sama-sama duduk di bangku perkuliahan, dan kebetulan sekarang ia bekerja di kantor yang letaknya tak jauh dengan tempatku bekerja. Aku melambatkan laju langkahku, sesekali aku melirik kanan kiri, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang, kemudian memandang setiap wajah yang telah mata ini jumpai. Namun tak ada satupun dari mereka yang menjadi maksud penglihatanku.
Hingga akhirnya aku hendak mengakhiri perjalanan sore ini. Dan dalam keadaan setengah menyerah dengan kesepakatan yang ku buat sepihak tadi dengan Tuhan, aku merasa bahwa ini hanya sia-sia dan tak mungkin jika Tuhan mendengarkan kesepakatan yang konyol ini. meski sebenarnya aku menaruh harapan yang sangat besar. Namun aku anggap dari awal Tuhan tak menyetujui hal ini.
Dan setelah anggapanku itu, tiba-tiba saja laki-laki yang menjadi fokus pencarianku sore ini sekilas terlihat dari sela-sela lalu-lalang manusia di sekitarku. Seketika saja suara gaduh yang sejak tadi kudengar, perlahan memelan kemudian senyap, nyaris tak terdengar suara apapun dalam telinga ini. Lalu-lalang orang yang sejak tadi menghalangi penglihatanku mulai kabur lalu tak jelas lagi adanya.
“Ya, itu dia!” Dalam suasana yang kuciptakan sendiri, aku melihat dia meski tak begitu lama. Dengan jarak yang hanya sekitar lima meter dari tempatku berdiri saat itu, ia tetap menjadi satu-satunya arah yang kulihat. Keadaan kembali ricuh dan pada saat itu juga, hingga aku tak lagi bisa melihat sosoknya. Lalu-lalang orang kembali menghalangi pandanganku, dan ya, dalam sekejap juga ia menghilang.
“Perasaan apa ini?” Tanyaku dalam hati. Meski sekilas, bisa melihatnya bak oase saat terjebak di tengah gurun berhari-hari. Bisa melihatnya di atas kesepakatanku bersama Tuhan, seperti berperan dalam kisah Hawa akhirnya berjumpa dengan Adam dari bertahun-tahun  namun tetap dipertemukan dalam sapaan jodoh.
Meski tak ku ketahui apakah dia melihatku seperti aku melihatnya, namun jelasnya aku meyakini bahwa Tuhan sedang memberiku awal dari usahaku. Aku pun pulang dengan perasaan yang tentunya membuat wajahku dibingkaikan senyuman yang meronakan dunia. Kemudian aku berangkat tidur dengan angan yang tak lagi bisa ku gusur.
Segaris sinaran mentari menembus sela-sela kain di jendela kamarku. Udara dingin mulai terasa menjilati tubuh kurusku. “Ah, sudah pagi,” ucapku sambil mengerutkan dahi pada mentari. Ku buka jendela kamar, di sana ke arah jalan, terlihat jelas lalu lalang orang-orang yang sibuk memulai hari. “Ah, ini benar-benar sudah pagi!!!” Aku mengubah raut lusuh wajahku menjadi berseri seperti raflesia arnoldi, yang indah namun tercium bau karena belum membersihkan diri.
Aku begitu bersemangat, bersemangat untuk berjumpa dengan sore hari seperti kemarin tentunya. Aku ingin membuat kembali keyakinan yang menerpa detik-detik hidupku meski baru sehari. Aku ingin hari ini cepat menjadi sore, dan berjumpa lagi dengan, dia. Aku menjalani hari ini dengan gairah yang tak biasanya, pekerjaan kantor yang sebegitu menumpuk nya pun aku selesaikan dengan ceria, dan sesekali menebar senyum pada rekan-rekan kerjaku.
Hingga tak terasa, sore kini mulai menyapa. Lembayungnya langit mulai beradu dengan penglihatanku. Waktu pulang kerja pun sudah tiba, aku sungguh sedang mempersiapkan diri agar kejadian kemarin terulang kembali. Ku matikan komputer di depanku, segera ku pergi ke kamar mandi, berdandan sedikit merapikan penampilan.
Dan akhirnya, dengan perasaan memuncak aku tiba di tempatku melihatnya kemarin. Kali ini tanpa menunggu lama, aku bisa menemukan sosoknya berdiri di depanku. Ia menatap ke arahku, melemparkan senyum menawannya hanya padaku, dan ku balas dengan senyum yang tak kalah menawan. Namun, tiba-tiba tubuhku terasa lemas saat kudapati ia berjalan mendekat ke arahku. Jantungku semakin berdebar begitu kencang, iramanya sungguh tak bisa ditebak, keringat dingin mulai terasa mengalir di leher menuju punggungku. Dalam hati, aku hanya bisa berbisik berulang-ulang, “tolong aku, Tuhan. Tolong aku…”
“Hai! Lama tidak berjumpa, apa kabar?” Ia memulai percakapan sambil menyodorkan tangan untuk disalami. Refleks aku menyusut tanganku yang berkeringat ke kain baju dan segera mengambil tangannya.

“Baa.. baaa.. ikk,” aku tergagap. “Kamu?” sambungku yang sedang menahan raut kebahagiaan. Pandanganku hanya terfokus padanya, saking fokusnya aku tak menyadari sesosok wanita sebayaku tengah berdiri di sampingnya. Perempuan itu bertanya, “Siapa?” sambil menatapku dan tersenyum. Angga memotong pembicaraan dan berbicara padaku, “Oh iya, Dit. Kenalin, ini Rini, istriku.”

Comments

  1. Teruuuus?
    Udah aja ini teh?

    oia.. tolong dong verifikasi komentarnya diilangin aja.. ganggu.

    ReplyDelete
  2. teuacan atuh a, aya part dua na dan part part selanjutnya :D

    oh ntar dicobaa

    ReplyDelete

Post a Comment