Lima bulan berlalu, luka Sobirin masih jelas tampak pada garis-garis
wajahnya. Kesedihan mendalam akan menusuk siapa saja yang menatap kosong
matanya. Tampak luar, ia lusuh, seperti
tak terurus, mandi sekedarnya, makan selaparnya, bicara seperlunya dan bekerja
sebisanya. Jangankan memikirkan kedua anaknya, hidupnya pun seperti hilang
arah. Sesekali ia meninggalkan rumah untuk bisa kembali sambil membawa Dalia
pulang, namun nihil, sekalipun itu tak pernah terjadi, bahkan kini ia berpasrah
dengan cintanya yang seolah direnggut paksa oleh Tuhan.
Dalia, masih menjadi alasan mengapa ia melewati hari-harinya
seperti itu. Hingga kabar menyayat ini pun terdengar pada kuping Salima,
sahabat Sobirin yang sembilan belas tahun lalu pergi mengikuti ayahnya mengadu
nasib di ibu kota. Baru dua hari lalu, Salima kembali menginjakkan kakinya di
Panenjoan, meski sebenarnya tujuan ia kembali kesana adalah untuk mengurusi
surat tanah yang dulu sempat dijual ayahnya, lalu kini, ingin ia beli kembali.
Namun, mendengar kabar pilu Sobirin dari para tetangga, ia dan kaki lenjangnya
pergi menapaki jalan yang tidak banyak berubah, jalurnya sama seperti sembilan
belas tahun lalu, saat ia selalu dengan tanpa beban datang ke rumah Sobirin.
Tiba di depan rumah Sobirin, dengan penuh harap dan rasa cemas,
Salima mengetuk pintu perlahan sembari mengucap salam.
“Assalamu’alaikum..”
“..”
“Assalamu’alaikum.” Ia mengulangi salamnya.
“Wa’alaikumsalam.” Suara melengking anak perempuan terdengar dari
dalam rumah. Pintu terbuka perlahan, muncul seorang gadis yang melemparkan
senyum menyambut kedatangan Salima, dia Elmiar, anak kedua Sobirin.
“Ba... Bapak... ada?” Salima terbata-bata mengucap setiap kata yang
keluar dari mulutnya, dalam hatinya, ia gugup, ia berbangga dan sedikit merasa
iba, sahabatnya kini memiliki gadis kecil nan cantik, namun sayang bernasib
malang.
“Ada, bu, dipanggilin sebentar ya, masuk dulu, mangga.”
“Oh, iya, terimakasih.” Salima masuk ke dalam rumah yang dulu
sekali ia pernah bahkan sering di dalamnya. Kedua matanya tak henti menatap sekeliling
dan seisi rumah yang kini banyak berubah. “Dulu, dinding-dinding kokoh ini
adalah bilik rapuh yang saat angin datang, ia bisa menyelundup ke sela-selanya.
Dulu, ubin keras ini adalah papan besar yang akan selalu berbunyi saat orang
memijakkan kaki di atasnya. Dulu, di balik atap itu, adalah tempat
persembunyian kami setiap menghindari amarah ibunya Sobirin karena dengan
sengaja menghabiskan seluruh makanan yang ada di dapur. Ah, dulu, aku rindu
dulu, aku rindu masa-masa itu.” Salima larut dalam lamunan, matanya berkaca
hampir mengeluarkan kristal bening penanda ketulusan. Ia diliputi rasa rindu,
tak hanya pada Sobirin tapi juga pada ibunya Sobirin, bahkan pada teman
kembarnya Boni dan Bina yang juga pergi tak berkabar.
Lamunannya pecah saat suara langkah kaki mendekat ke tempat ia
berdiri. Sambil mengusap kedua matanya dengan telunjuk, Salima menengok ke arah
kiri tempatnya berdiri. Ia melihat laki-laki yang dulu begitu ia kenal, kini ia
tampak berbeda, semakin menua pastinya.
“Sob,” Salima memulai sapaan dengan akrab.
Sobirin termenung, ia mengerutkan dahinya, tampak ia sedang
menggali ingatan yang dalam. Wajah wanita yang sekarang berada di hadapannya
ini tak asing, tapi, asing juga. Sedikit mengamati lebih lama, akhirnya wajah
Sobirin tersenyum mengembang.
“Salima? Kaukah itu?”
“Syukurlah kau masih mengingatku.”
“Tentu, mana mungkin aku melupakan sahabatku. Kemana saja kau,
hampir dua puluh tahun, tak sekalipun kau datang ataupun memberi kabar.”
Sobirin terlihat sangat antusias dengan kedatangam Salima, sahabat perempuannya.
Sejenak, ia melupakan kesedihan yang selama ini membatasi ruang geraknya.
“Kau sekarang kurus. Mana ibumu?” Salima tak kalah antusias.
“Ia sedang ikut senam lansia di kecamatan.”
“Kau sekarang kurus.” Salima mengulang pernyataannya yang tidak
ditanggapi.
“Iya gituh?” tanya Sobirin. Ia kembali pada raut sedihnya.
“Apa kau tidak bahagia?” Bermaksud agar Sobirin mau menceritakan
apa yang terjadi. Salima bertanya dengan sedikit nada bercanda.
Sobirin mempersilahkan Salima duduk. Lalu, ia pergi menuju
kamarnya. Tak lama, ia kembali pada Salima dengan membawa sepucuk surat di
tangannya.
“Elmiar, sini, bawakan air!” Teriak Sobirin pada anaknya, ia
bergegas duduk di samping Salima.
“Anakmu cantik, kemana ibunya?” Tanya Salima pura-pura tidak tahu
apa-apa.
“Eh, ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan di Panenjoan?”
Sobirin berbalik melontarkan tanya.
“Ah, aku akan kembali membeli rumah ayahku dulu yang sempat
dijual.” Jawab Salima santai. “Lantas, kemana istrimu?” ia melanjutkan, seperti
dihantui rasa penasaran.
Sobirin tampak tenang, ia memberanikan dirinya untuk bercerita pada
Salima, tentang Dalia, tentang isrtinya yang pergi meninggalkan rumah beserta
anak-anak dan seisinya, tentang rasa cintanya yang tercabik-cabik kini. Surat
yang tadi dibawanya, ia berikan pada Salima agar Salima membacanya. Tanpa pikir
panjang, Salima membuka lipatan demi lipatan surat itu, belum selesai terbuka,
“Ini pak, airnya.” Elmiar menghampiri mereka.
“Sudah salim sama ibu ini? Teman bapak.” Ujar Sobirin.
“Hehe. Belum, pak.” Sambil menyodorkan tangannya, Elmiar tersenyum
pada Salima.
Fokus Salima terpecah, ia menyimpan surat itu di kedua pahanya dan menerima
salam dari anak bungsu Sobirin terlebih dahulu. Setelah semua itu, ia kembali
pada surat yang tadi menjadi fokusnya. Dua lembar surat berada ditangannya, ia
membacanya dengan teliti, lensa matanya yang kecokelatan bergerak dari sudut
kiri ke sudut kanan berulang-ulang. Sesekali matanya bekaca, namun tak sampai
meneteskan airnya. Hingga pada akhirnya, lembar kedua dari surat itu telah ia
hatamkan. Salima kemudian menatap Sobirin dengan penuh ketidakpercayaan.
“Sobirin, sepertinya aku mengenal Dalia.” Satu minggu lalu, aku dan
dia bertemu. Tapi, sepertinya bukan karena ini dia meninggalkanmu.” Ucapnya
ragu, namun tetap melanjutkan, “Dia baru saja diperkenalkan kakak sepupuku yang
duda, sebagai calon isterinya.”
Comments
Post a Comment