(BAG IV) Salima, Menambah Luka



Lima bulan berlalu, luka Sobirin masih jelas tampak pada garis-garis wajahnya. Kesedihan mendalam akan menusuk siapa saja yang menatap kosong matanya. Tampak luar,  ia lusuh, seperti tak terurus, mandi sekedarnya, makan selaparnya, bicara seperlunya dan bekerja sebisanya. Jangankan memikirkan kedua anaknya, hidupnya pun seperti hilang arah. Sesekali ia meninggalkan rumah untuk bisa kembali sambil membawa Dalia pulang, namun nihil, sekalipun itu tak pernah terjadi, bahkan kini ia berpasrah dengan cintanya yang seolah direnggut paksa oleh Tuhan.
Dalia, masih menjadi alasan mengapa ia melewati hari-harinya seperti itu. Hingga kabar menyayat ini pun terdengar pada kuping Salima, sahabat Sobirin yang sembilan belas tahun lalu pergi mengikuti ayahnya mengadu nasib di ibu kota. Baru dua hari lalu, Salima kembali menginjakkan kakinya di Panenjoan, meski sebenarnya tujuan ia kembali kesana adalah untuk mengurusi surat tanah yang dulu sempat dijual ayahnya, lalu kini, ingin ia beli kembali. Namun, mendengar kabar pilu Sobirin dari para tetangga, ia dan kaki lenjangnya pergi menapaki jalan yang tidak banyak berubah, jalurnya sama seperti sembilan belas tahun lalu, saat ia selalu dengan tanpa beban datang ke rumah Sobirin.

Tiba di depan rumah Sobirin, dengan penuh harap dan rasa cemas, Salima mengetuk pintu perlahan sembari mengucap salam.
“Assalamu’alaikum..”
“..”
“Assalamu’alaikum.” Ia mengulangi salamnya.
“Wa’alaikumsalam.” Suara melengking anak perempuan terdengar dari dalam rumah. Pintu terbuka perlahan, muncul seorang gadis yang melemparkan senyum menyambut kedatangan Salima, dia Elmiar, anak kedua Sobirin.
“Ba... Bapak... ada?” Salima terbata-bata mengucap setiap kata yang keluar dari mulutnya, dalam hatinya, ia gugup, ia berbangga dan sedikit merasa iba, sahabatnya kini memiliki gadis kecil nan cantik, namun sayang bernasib malang.
“Ada, bu, dipanggilin sebentar ya, masuk dulu, mangga.
“Oh, iya, terimakasih.” Salima masuk ke dalam rumah yang dulu sekali ia pernah bahkan sering di dalamnya. Kedua matanya tak henti menatap sekeliling dan seisi rumah yang kini banyak berubah. “Dulu, dinding-dinding kokoh ini adalah bilik rapuh yang saat angin datang, ia bisa menyelundup ke sela-selanya. Dulu, ubin keras ini adalah papan besar yang akan selalu berbunyi saat orang memijakkan kaki di atasnya. Dulu, di balik atap itu, adalah tempat persembunyian kami setiap menghindari amarah ibunya Sobirin karena dengan sengaja menghabiskan seluruh makanan yang ada di dapur. Ah, dulu, aku rindu dulu, aku rindu masa-masa itu.” Salima larut dalam lamunan, matanya berkaca hampir mengeluarkan kristal bening penanda ketulusan. Ia diliputi rasa rindu, tak hanya pada Sobirin tapi juga pada ibunya Sobirin, bahkan pada teman kembarnya Boni dan Bina yang juga pergi tak berkabar.
Lamunannya pecah saat suara langkah kaki mendekat ke tempat ia berdiri. Sambil mengusap kedua matanya dengan telunjuk, Salima menengok ke arah kiri tempatnya berdiri. Ia melihat laki-laki yang dulu begitu ia kenal, kini ia tampak berbeda, semakin menua pastinya.
“Sob,” Salima memulai sapaan dengan akrab.
Sobirin termenung, ia mengerutkan dahinya, tampak ia sedang menggali ingatan yang dalam. Wajah wanita yang sekarang berada di hadapannya ini tak asing, tapi, asing juga. Sedikit mengamati lebih lama, akhirnya wajah Sobirin tersenyum mengembang.
“Salima? Kaukah itu?”
“Syukurlah kau masih mengingatku.”
“Tentu, mana mungkin aku melupakan sahabatku. Kemana saja kau, hampir dua puluh tahun, tak sekalipun kau datang ataupun memberi kabar.” Sobirin terlihat sangat antusias dengan kedatangam Salima, sahabat perempuannya. Sejenak, ia melupakan kesedihan yang selama ini membatasi ruang geraknya.
“Kau sekarang kurus. Mana ibumu?” Salima tak kalah antusias.
“Ia sedang ikut senam lansia di kecamatan.”
“Kau sekarang kurus.” Salima mengulang pernyataannya yang tidak ditanggapi.
“Iya gituh?” tanya Sobirin. Ia kembali pada raut sedihnya.
“Apa kau tidak bahagia?” Bermaksud agar Sobirin mau menceritakan apa yang terjadi. Salima bertanya dengan sedikit nada bercanda.
Sobirin mempersilahkan Salima duduk. Lalu, ia pergi menuju kamarnya. Tak lama, ia kembali pada Salima dengan membawa sepucuk surat di tangannya.
“Elmiar, sini, bawakan air!” Teriak Sobirin pada anaknya, ia bergegas duduk di samping Salima.
“Anakmu cantik, kemana ibunya?” Tanya Salima pura-pura tidak tahu apa-apa.
“Eh, ngomong-ngomong, apa yang sedang kau lakukan di Panenjoan?” Sobirin berbalik melontarkan tanya.
“Ah, aku akan kembali membeli rumah ayahku dulu yang sempat dijual.” Jawab Salima santai. “Lantas, kemana istrimu?” ia melanjutkan, seperti dihantui rasa penasaran.
Sobirin tampak tenang, ia memberanikan dirinya untuk bercerita pada Salima, tentang Dalia, tentang isrtinya yang pergi meninggalkan rumah beserta anak-anak dan seisinya, tentang rasa cintanya yang tercabik-cabik kini. Surat yang tadi dibawanya, ia berikan pada Salima agar Salima membacanya. Tanpa pikir panjang, Salima membuka lipatan demi lipatan surat itu, belum selesai terbuka,
“Ini pak, airnya.” Elmiar menghampiri mereka.
“Sudah salim sama ibu ini? Teman bapak.” Ujar Sobirin.
“Hehe. Belum, pak.” Sambil menyodorkan tangannya, Elmiar tersenyum pada Salima.
Fokus Salima terpecah, ia menyimpan surat itu di kedua pahanya dan menerima salam dari anak bungsu Sobirin terlebih dahulu. Setelah semua itu, ia kembali pada surat yang tadi menjadi fokusnya. Dua lembar surat berada ditangannya, ia membacanya dengan teliti, lensa matanya yang kecokelatan bergerak dari sudut kiri ke sudut kanan berulang-ulang. Sesekali matanya bekaca, namun tak sampai meneteskan airnya. Hingga pada akhirnya, lembar kedua dari surat itu telah ia hatamkan. Salima kemudian menatap Sobirin dengan penuh ketidakpercayaan.

“Sobirin, sepertinya aku mengenal Dalia.” Satu minggu lalu, aku dan dia bertemu. Tapi, sepertinya bukan karena ini dia meninggalkanmu.” Ucapnya ragu, namun tetap melanjutkan, “Dia baru saja diperkenalkan kakak sepupuku yang duda, sebagai calon isterinya.”

Comments