Miscommunication - I



Oleh : Tinta Ilmiati

Menjelang sore hari ketika aku baru saja pulang dari sekolah. Aku merasa lelah karena perjalanan dari sekolah menuju rumah lumayan menyita waktu tiga puluh menit dengan sepeda motor. Pegal-pegal karena memegang stir motor selama tiga puluh menit rasanya hilang, ketika melihat hidangan makan di meja makan di rumah yang berhasil membuat aura segarku kembali muncul ke permukaan.
Tanpa basa-basi aku melahap makanan yang tadinya berada di balik tudung saji itu. Aku membawa diri dan makanan yang sudah berada di tanganku ke ruang TV, menyalakannya dan menyaksikan acara kartun favoritku, Upin dan Ipin sambil makan dengan lahapnya.
Tak lama, aku mendengar suara berisik dari luar rumah. “Deeeeeek, deeeeeeeeeek”. Sengaja tak ku jawab karena sudah ku duga, suara itu. Suara perempuan yang biasa membangunkanku di subuh hari, suara sang majikan di alam rumah, ibu. Suara cerewet yang membuat selera makanku sedikit terganggu sore itu.
Ibu membukakan pintu, menghampiriku dan melanjutkan, “Dek, ibu pergi heula nya, ngalongok temen ibu anu sakit. Moal lama da, sok we emam na cing banyak” Ibu berbicara panjang lebar bahkan tak memberi kesempatan kepadaku untuk membalas ucapannya.
Ibu yang baru saja pulang dari pengajian itu kembali akan pergi bersama teman-teman se-Majelis Ta’limnya. “Muhun, Bu. Dimana kitu?” Tanyaku yang berbasa-basi dan menyela perkataannya. “Di Pasir Lame” jawabnya yang kemudian berlalu menghampiri teman-temannya yang dari tadi sudah menunggu di luar rumah.
Akupun melanjutkan kembali makan siangku yang kesorean itu. Namun tak lama kemudian, ibu kembali memanggilku dari luar rumah dengan nada tinggi khas sekali, “Deeek, deeek”. Tak aku jawab. Namun lengkingan suaranya itu tetap ia lanjutkan, “deeek…. deeeek… deeek”
“Apalagi ibuku yang cantik jelita tiada tara sejagad raya dan alam semesta hingga ke surga?” Jawabku yang meluapkan kekesalan dengan rayuan itu.
“Pang nyandakkeun amplop di kamar ibu ih”.
Aku yang sedang makan mengiyakan keinginannya, meninggalkan makananku di meja dan bergegas ke kamar ibu mencari amplop yang ia instruksikan, namun tak kunjung ku temukan.
“Di sebelah mananya, bu?”
“Itu di kamar” jawabnya yang masih berteriak di luar rumah. Namun membuatku semakin bingung dalam pencarianku.
“Iya da kamar ibu teh lega, di sebelah mananya?”
“Eta pilarian weh di kamar da pasti aya moal kamana-mana”
“Atuh bu, lebih spesifik dong aku kan jadi lieur” ujarku yang masih melanjutkan pencarian.
“Eta dina dompet”
“Ih dompetna dimana ai ibu?”
“Dina kantong ih, ada teu?”
“Ih, ko cenah di dompet. Da kantong ibu teh banyak, kantong anu mana sih?”
“Nya pan dompetna dina kantong. Anu tadi ku ibu diangge ke sekolah ih”
“Ih nya da aku teh gak tau ibu pake kantong yang mana”
“Ih da ai kamu mah meuni” Ibu pun menghampiriku yang masih melakukan pencarian, mengambil tas yang bergantung di balik pintu, mengeluarkan dompetnya dan mengambil amplop yang berada di dalam dompet itu dengan mudah dan cepat. Sambil melanjutkan, “Da nyari emang-emang tukang amplopna kamu mah sanes amplop, sangkilang ku ibu mah langsung kapendak, yeuh”.
Ibu tertawa meledek dengan puas lalu pergi melanjutkan aktifitasnya. Namun berbeda dengan aku yang melengkungkan bibir dan kembali mengambil makanan dan melanjutkan makan dengan perasaan kesal karena instruksi ibu yang hanya menggunakan kata ini dan itu yang ambigu menurutku.
~~~~~~~~The End~~~~~~~

Pesan :
Jika hendak memerintah seseorang, maka instrusikanlah dengan jelas dan usahakan agar tidak membuat orang tersebut, yang asalnya berniat menolong malah menjadi kebingungan dan pada akhirnya merasa kesal sepihak.




Comments

  1. Penggunaan kata istilah, sapaan, daerah, pake italic tin (tulis miring).

    saya pernah menulis bahasan yang sama di :
    http://blog.rizqisme.web.id/2011/06/mengapa-kita-perlu-belajar-ilmu_26.html

    ReplyDelete

Post a Comment