“Saya sendiri bingung harus bagaimana
lagi menghadapi orang itu.”
“Tidak apa-apa, dengan datangnya anda
kesini, anda pasti akan menemukan jawaban dari permasalahan anda. Secepatnya.
Saya jamin itu.”
“Tapi dia…”
“Sudahlah, sekarang anda lebih baik
pulang, tenangkan diri anda dan besok kita lanjutkan pembicaraan kasus ini.”
“Baiklah.
Terimakasih, Widia. Pokoknya bujuk dia!” Perempuan paruh baya itu pun pergi,
meninggalkan ruangan dengan mengapit tas kulit maroon di tangan kirinya.
Hingga pintu ditutupnya, menyisakan
seorang perempuan yang tampak sibuk membuka berkas-berkas sambil mengerutkan
dahi. Perempuan itu bernama Widia, sesekali ia memegang kepalanya,
mencorat-coret berkas itu dengan ballpoint
di tangan kanannya. Ia tampak serius, lebih serius dari seekor singa yang
hendak membidik mangsanya. Diperhatikannya berkas-berkas itu, dan ia pun
menyerah dalam kepusingannya, menutup berkas-berkas itu, merapikannya dan
bergegas meninggalkan ruangan biru yang luasnya tiga kali empat meter kubik itu.
“I,
finally, got it!”
Dengan penuh keyakinan, Widia menancapkan pedal gas mobilnya menuju sebuah
rumah yang jaraknya bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit dari tempat ia
bekerja. Sesampainya ia di rumah itu, tanpa berniat mengulur waktu ia mengetuk
pintu kemudian disambut oleh seorang pria yang dari perawakannya bisa
diperkirakan berusia setengah abad.
“Silakan duduk, mbak.”
“Iya, terima kasih.” Sambil menuju
tempat duduk yang telah disediakan, ia tampak tenang. “Sebelumnya perkenalkan,
pak, nama saya Widia, Widiasari Kartaatmadja. Ini kartu nama saya.” Ia
menyodorkan sebuah kartu nama yang baru saja diambilnya dari dompet berwarna
cokelat di dalam tasnya. “Bapak benar dengan bapak Sutanto?” Ia melanjutkan.
Pria itupun berdecak heran dengan
kedatangan wanita yang dengan tiba-tiba menanyakan identitasnya. “Benar, saya
Sutanto.” Meski heran, ia menjawabnya lantang sambil menatap kartu nama yang
baru diberikan perempuan yang baru dikenalnya bernama Widia itu. Dalam kartu
nama tersebut, Sutanto akhirnya menyadari bahwa perempuan yang sedang berada di
depannya ini memiliki pekerjaan seorang lawyer.
“Oke, Dik Widia, ada apa mencari saya?” tanpa basa-basi Sutanto menanyakan
maksud kedatangan Widia.
“Begini, pak, ini berkaitan dengan
isteri anda. Atau lebih tepatnya mantan isteri anda.” Widia mulai berbicara
serius. “Beliau menginginkan anak-anak tinggal di rumahnya dan diasuh olehnya.
Saya pengacaranya, sebelum semuanya kita proses secara hukum lebih baik kita
bernegosiasi terlebih dahulu, kan?” Widia dengan percaya diri berbicara pada
Suatanto yang kini memperlihatkan tampang tak bersahabat.
“Silakan saja langsung proses hukum,
saya tidak takut! Lagipula saya lebih layak untuk mengasuh anak-anak saya.
Tidak seperti wanita itu!” Sentak Suatanto pada Widia. “Maaf, anda boleh pergi
sekarang.” Lanjutnya dengan ketus.
“Oke, pak, saya mengerti. Tapi ini akan
menguntungkan pihak Ibu Rosalina, sementara saya melihat beliau memiliki
kehidupan yang, maaf, lebih layak dari anda.” Widia tak kalah ketus sembari
melihat kanan kiri kondisi rumah Sutanto.
“Anda jangan memaksa saya berbicara yang
sebenarnya tentang wanita itu.” tandas Sutanto. “Anda dibayar berapa berani
menghinakan saya? Anda yakin bayaran anda itu hasil dari pekerjaan yang halal?”
Akhirnya Sutanto meledak. “Saya tidak mau anak-anak saya bernasib sama seperti
anda!! Sudahlah, anda boleh pergi!”
Tampak raut wajah yang berubah
dari Widia, awalnya ia terlihat begitu menggebu, kini masam, seperti menelan rasa pahit
saat kata-kata itu keluar dari mulut keriput Sutanto. Ia baru merasakan ada yang tidak wajar dari pekerjaannya.
Comments
Post a Comment