Cerbung BAG I (Sadari, Pahami, Maknai "Semua Sama")



“Saya sendiri bingung harus bagaimana lagi menghadapi orang itu.”
“Tidak apa-apa, dengan datangnya anda kesini, anda pasti akan menemukan jawaban dari permasalahan anda. Secepatnya. Saya jamin itu.”
“Tapi dia…”
“Sudahlah, sekarang anda lebih baik pulang, tenangkan diri anda dan besok kita lanjutkan pembicaraan kasus ini.”
            “Baiklah. Terimakasih, Widia. Pokoknya bujuk dia!” Perempuan paruh baya itu pun pergi, meninggalkan ruangan dengan mengapit tas kulit maroon di tangan kirinya.
Hingga pintu ditutupnya, menyisakan seorang perempuan yang tampak sibuk membuka berkas-berkas sambil mengerutkan dahi. Perempuan itu bernama Widia, sesekali ia memegang kepalanya, mencorat-coret berkas itu dengan ballpoint di tangan kanannya. Ia tampak serius, lebih serius dari seekor singa yang hendak membidik mangsanya. Diperhatikannya berkas-berkas itu, dan ia pun menyerah dalam kepusingannya, menutup berkas-berkas itu, merapikannya dan bergegas meninggalkan ruangan biru yang luasnya tiga kali empat meter kubik itu.
“I, finally, got it!” Dengan penuh keyakinan, Widia menancapkan pedal gas mobilnya menuju sebuah rumah yang jaraknya bisa ditempuh dalam waktu lima belas menit dari tempat ia bekerja. Sesampainya ia di rumah itu, tanpa berniat mengulur waktu ia mengetuk pintu kemudian disambut oleh seorang pria yang dari perawakannya bisa diperkirakan berusia setengah abad.
“Silakan duduk, mbak.”
“Iya, terima kasih.” Sambil menuju tempat duduk yang telah disediakan, ia tampak tenang. “Sebelumnya perkenalkan, pak, nama saya Widia, Widiasari Kartaatmadja. Ini kartu nama saya.” Ia menyodorkan sebuah kartu nama yang baru saja diambilnya dari dompet berwarna cokelat di dalam tasnya. “Bapak benar dengan bapak Sutanto?” Ia melanjutkan.
Pria itupun berdecak heran dengan kedatangan wanita yang dengan tiba-tiba menanyakan identitasnya. “Benar, saya Sutanto.” Meski heran, ia menjawabnya lantang sambil menatap kartu nama yang baru diberikan perempuan yang baru dikenalnya bernama Widia itu. Dalam kartu nama tersebut, Sutanto akhirnya menyadari bahwa perempuan yang sedang berada di depannya ini memiliki pekerjaan seorang lawyer. “Oke, Dik Widia, ada apa mencari saya?” tanpa basa-basi Sutanto menanyakan maksud kedatangan Widia.
“Begini, pak, ini berkaitan dengan isteri anda. Atau lebih tepatnya mantan isteri anda.” Widia mulai berbicara serius. “Beliau menginginkan anak-anak tinggal di rumahnya dan diasuh olehnya. Saya pengacaranya, sebelum semuanya kita proses secara hukum lebih baik kita bernegosiasi terlebih dahulu, kan?” Widia dengan percaya diri berbicara pada Suatanto yang kini memperlihatkan tampang tak bersahabat.
“Silakan saja langsung proses hukum, saya tidak takut! Lagipula saya lebih layak untuk mengasuh anak-anak saya. Tidak seperti wanita itu!” Sentak Suatanto pada Widia. “Maaf, anda boleh pergi sekarang.” Lanjutnya dengan ketus.
“Oke, pak, saya mengerti. Tapi ini akan menguntungkan pihak Ibu Rosalina, sementara saya melihat beliau memiliki kehidupan yang, maaf, lebih layak dari anda.” Widia tak kalah ketus sembari melihat kanan kiri kondisi rumah Sutanto.
“Anda jangan memaksa saya berbicara yang sebenarnya tentang wanita itu.” tandas Sutanto. “Anda dibayar berapa berani menghinakan saya? Anda yakin bayaran anda itu hasil dari pekerjaan yang halal?” Akhirnya Sutanto meledak. “Saya tidak mau anak-anak saya bernasib sama seperti anda!! Sudahlah, anda boleh pergi!”
Tampak raut wajah yang berubah dari Widia, awalnya ia terlihat begitu menggebu, kini masam, seperti menelan rasa pahit saat kata-kata itu keluar dari mulut keriput Sutanto. Ia baru merasakan ada yang tidak wajar dari pekerjaannya.

Comments