Langit senja tampak indah, aku berjalan-jalan ke taman kota. Sendirian. “Ya, sendirian saja” gumamku dalam hati yang mencoba menegarkan diri.
Tapi kesendirian biasanya mengajarkanku banyak hal. Begitupun sore ini, aku duduk, menghela nafas, kulihat sekitaran pandanganku. Hatiku tiba-tiba terenyuh melihat hal yang sebenarnya biasa, tapi sudah asing kutemukan.
Kakak beradik, laki-laki berusia sekitaran sembilan dan tujuh tahun bermain-main di taman kota. Tapi aku melihat raut kekesalan datang dari si kakak. Entahlah, aku hanya mengira saat itu si kakak sedang tak ingin bermain dengan adiknya.
“Dika, apa sih ngikutin abang?” Sentak laki-laki yang lebih besar itu.
“Dika ingin ikut main, bang” Laki-laki imut itu merengek, memelas berharap kakaknya membawanya pergi bersama.
“Tapi kamu lambat, Dika. Kalau abang satu tim sama kamu, nanti abang kalah.”
Entah apa yang sedang mereka mainkan, tapi pandanganku tak lepas, mengikuti langkah-langkah mungil yang mereka lalui. Hingga permainan “kejar-kejaran”pun berakhir.
Anak laki-laki yang di panggil abang itu tampak lelah, wajahnya memerah, keringat bercucuran, menyelimuti tubuhnya yang agak besar bagi anak seusianya. Tapi tetap, Dika, adiknya berada di belakang mengikuti si abang. Ia pun sama, sama-sama tampak lelah.
“Bang, mau kemana sekarang?” Tanya Dika mengharap jawaban.
“Ya pulang, lah” jawab sang kakak ketus.
Dika si adik masih saja mengikutinya, ia ingin tetap bersama meski kakaknya tak memperlakukannya dengan baik. Sesekali Dika meraih baju bagian belakang kakaknya, tapi ditepis begitu saja dengan kasarnya hingga terlepas.
Masih di taman kota dan belum lama mereka berjalan, si kakak menghentikan langkahnya di tukang es kado asongan. Kerongkongannya kering, ia kehausan.
“Bang, beli satu. Berapaan? Tanya si kakak pada tukang es kado yang berwajah kusam itu.
“Dua ribu, Dek!” Jawabnya.
“Hanya satu, Bang?” Tiba-tiba Dika menyela percakapan mereka.
“Iya, satu saja.” Tegas kakaknya pada Dika. “Cepat, Bang. Satu, saya sangat haus.” Lanjutnya pada tukang es kado yang menunggu konfirmasi.
Tampak raut kecewa pada diri Dika, yang ada dalam pikiranku, mungkin ia sedih mengapa kakak laki-lakinya itu begitu tak memedulikannya, bahkan sedikitpun.
“Bang, saya juga mau satu.” Sambung Dika pada tukang es dan mencoba tak menghiraukan sikap kakaknya.
Si tukang es pun dengan sigap memotong es dalam wadah kotak untuk dua pelanggan kecilnya. Dika menerimanya satu. Begitupun abangnya. Namun raut resah tergambar jelas saat si kakak membongkar berbagai saku di pakaiannya. Ia tak menemukan sepeserpun uang untuk membayar es yang baru saja ia pegang.
“Bang, gak jadi deh belinya.” Ia mengembalikan es yang sudah ada dalam genggamannya. Padahal, ia terlihat sangat kehausan.
Sementara Dika, ia membayar es yang sudah di tangannya. Namun, menyaksikan abangnya yang tampak kusut, ia meminta pada tukang es,
“Bang, ini es saya bisa dipotong dua?”
Mendengar Dika berbicara seperti itu pada tukang es, pandangan si kakak terlihat kabur. Entah apa yang ia bayangkan. Tapi aku yakin, hatinya saat itu pastilah terenyuh.
Si tukang es sempat melamun, mendengar apa yang baru saja anak kecil itu katakan. Tapi segera ia menuruti apa yang pelanggannya instruksikan. Ia memotongnya menjadi dua, dan segera memberikan pada Dika.
“Ini, sepotong untuk abang.” Ia memberi potongan es itu pada laki-laki yang sejak tadi tak menghiraukannya.
Dengan malu-malu dan mata yang sedikit berair, sang kakak menerima es pemberian adiknya kemudian merangkulnya tanpa gesa. Mereka pulang bersama. Dan terakhir, kalimat yang sempat ku dengar….
“Terima kasih, Dika.”
Ah, aku belajar dari mereka. Dari anak-anak yang usianya jauh dari masaku. Aku belajar, bahwa kedewasaan bukanlah umur yang mengukur, aku belajar bahwa ketulusan mampu mengalahkan keegoisan, dan aku belajar bahwa keluarga adalah satu-satunya tempat yang pertama kita tuju saat kita tak berkutik menghadapi dunia.
Comments
Post a Comment