Cerita ini dibikin buat film kelas, tapi gak semua aku yang bikin. Di bantu Umy sifut juga di bagian ending :D but happy reading..
Kisah ini
menceritakan tentang penyesalan seorang anak perempuan yang mengacuhkan kasih
sayang keluraga, terutama ibunya. Hingga akhirnya penyesalan menimpanya……….
Pemeran :
Kinan
|
:
|
Siti Fahrunnisa
|
Ibu Kinan
|
:
|
Restu Triarti Putri
|
Adik Kinan
|
:
|
Rizkianti Chandra AD
|
Gilang
|
:
|
Yayang
|
Bang Ikin
|
:
|
Rojikin
|
Lastri
|
:
|
Rima Hilma Maulani dan Yasyifa F N
|
Paman
|
:
|
Riyan Rahayu
|
Bibi
|
:
|
Siti Qori’ah
|
Pelayad
|
:
|
All KPI C
|
Tempat :
1.
Kuburan
2.
Toko
Bunga
3.
Rumah
4.
Kostan
5.
Kampus
Soundtrack :
Bunga
Terakhir - Afgan
Isak tangis mewarnai sore hari yang kelam itu. Angin sepoy menusuk
tanpa ampun pada hati seorang wanita. Gerimis berlomba, mencabik-cabik tubuhnya
yang semampai. Tampak seorang perempuan kebingungan melihat pusaran makam yang
terbentang dikerumunan orang-orang. Seketika ia menoleh pada orang
disekelilingnya. Bertanya, namun tak ditanggapi.
FLASH BACK
Di ruang kelas………….
Kinan mendapatkan
sms. Yang ternyata sms dari Ibunya, berisikan,
“Kak, nanti pulang kuliah jangan lupa beli bunga kesukaan ibu.”
Tak ia jawab, hanya di read kemudian menyimpan handphonenya kembali di
saku bajunya.
Di luar kelas……………..
Kinan
kembali mengeluarkan handphone dari sakunya, melihat satu pesan diterima masih
dari ibunya, isi smsnya sama. Dan lagi, ia cukup hanya membacanya.
Ia meneruskan aktifitasnya bersama teman-teman sepergaulannya.
Bercanda, bergosip, dan menghabiskan waktunya hanya untuk bersenang-senang.
Masih
dalam situasi seperti itu, nada handphonenya berdering. Telepon masuk lagi-lagi
dari ibunya.
“Iya,
kenapa, bu?” Kinan menjawab teleponnya.
“Iya,
Ibu. waalaikumsalam.” Lanjutnya.
“Iya,
nanti Kinan belikan”
“Waalaikumsalam.”
Ujarnya yang berbicara sendiri dengan telepon genggamnya.
Salah satu teman bernama Lastri bertanya, “siapa yang telpon?”
“Biasa,
nyokap. Bawel banget” Jawab Kinan.
Siang
kini berganti senja, waktu seakan tak membiarkan kinan berlama-lama bermain
berbincang manja dengan para sahabatnya.
“Aduh,
udah sore nih. Gue balik yak”. Kata Kinan pada teman-temannya.
“Yaelah,
Kin. Ini tuh masih siang. Ntar dulu napa. Eh atau nginep aja di tempat gue.
Yuk?” ujar salah satu temannya, Lastri.
“Eh
boleh tuh, udah lama juga kan gue gak ke tempat lo.”
Di Kosan Lastri……………..
“Mau
makan apa mau mandi dulu, Nan?” Tanya Lastri
k“Santai
aja kali gue kan bukan tamu, Las”
Dalam keheningan suara malam, sekitar pukul Sembilan handphone
kinan berdering ia melihat dan terdapat satu pesan masuk, ya dari ibunya.
“kak udah malem kok belum pulang masih dimana?”
Lagi-lagi tak Kinan hiraukanan, ia melajutkan obrolannya dengan Lastri.
Tak lama berselang, handphone kinan berdering. Kali ini ibunya menelepon. Kinan
pun menjawab telepon ibunya itu.
“Apa ibu??”
“Di kosan Lastri.”
“Iya, mau nginep.”
“Males ah, besok aja”
“Udah dulu ya, Bu. Kinan sibuk! Lagi ngerjain tugas!! Gausah
nelpon-nelpon lagi kaya ke anak kecil aja!!!!” Kinan menutup teleponnya dengan
kasar.
“Ko lo gitu sih sama nyokap?” Tanya Lastri.
“Lo gak tau aja, Las. Bawelnya dia kaya apa. Udah eneg gue”
“Husss!! Gak boleh gitu lo. Ntar nyesel lagi. Hahaha”
“Ahhhh, gak akan!!! Hahaha”
Mereka melanjutkan bincang-bicangnya hingga tak terasa malam sudah
larut dan mereka pun menjadi sleeping beauty untuk semalam saja.
Pagi pun tiba, Kinan segera berbenah, bermaksud meninggalkan kosan
Lastri. Sekitar pukul sepuluh pagi, kekasih hatinya, Gilang sudah berdiri
mematung di depan kosan Lastri, hendak menjemput Kinan, kemudian berkencan
dengannya menggunakan sepeda motor. Tanpa basa-basi, Kinan berpamitan pada
Lastri, dan menyusul Gilang yang sudah lebih dulu menaiki sepeda motornya.
Kinan tak pulang ke rumah terlebih dahulu, sesekali ibu meneleponnya namun tak
ingin ia angkat, ia tak ingin kencannya kali ini diganggu oleh siapapun. Ia
mematikan handphonenya.
Sementara itu di rumah Kinan…..
Ibu terlihat begitu gelisah, tak tahu apa yang sedang ia
khawatirkan. Sesekali ia melihat handphone yang ada di genggamannya. Mondar-mandir,
seperti menunggu jawaban telepon dari seseorang.
“Bu, kenapa begitu resah? Ini sudah siang, dan ibu belum makan sama
sekali. Makan dulu, yuk?” Ajak seorang anak yang diketahui adalah adik Kinan.
Ia terbawa resah, karena kondisi ibu, yang begitu menghawatirkan kakaknya yang
belum juga pulang, padahal hari sudah siang.
“Ga apa-apa sayang, nanti saja ibu makannya. Kakakmu kenapa belum
pulang juga, ya? Handphonenya tidak aktif” Raut khawatir begitu jelas di permukaan
wajahnya yang berkeriput. Tiba-tiba ibu terkulai lemas. Karena belum ada satu
makananpun masuk ke dalam perutnya, ia tak bertenaga, ia terduduk dipapah anak
bungsunya yang kemudian terkaget karena melihat ibu yang begitu lemas……..
“Astagfirullah” Ibunya beristigfar sambil mengusap dadanya.
Sekitar pukul dua siang. Di perjalanan kencannya, tiba-tiba Kinan
teringat pesan Ibu yang menyuruhnya membeli bunga untuk menjadi hiasan di
rumah. Kali ini ia merasa tindakannya mengacuhkan ibu keterlaluan, oleh karena
itu ia dan Gilang mampir sebentar di florist langganannya. Memilih dan memilah
bunga mana yang cocok untuk dibeli dan dibawa pulang. Akhirnya ia mendapatkan
satu. Iapun berencana pulang dan segera memberikan bunga ini pada ibunya. Ia
tak sabar melihat ekspresi ibunya yang tersenyum sumringah saat ia memberikan
bunga ini kepadanya.
“Semoga ibu senang, maaf karena aku sudah keterlaluan.” Gumamnya
dalam hati.
Bayangannya sudah sampai di rumah. Namun, rasa kaget menyelimuti
dirinya, bendera kuning tertancap berkibar di pagar depan rumahnya. Segera ia
berlari, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun nasi sudah menjadi bubur dengan gengaman
mawar putih ditangannya untuk ibunya ia hendak mencari ibu, hanya ibu satu kata
yang ia ingat.
“Buuuuu, ibuuuuu dimana? Buuuu? Maafin aku!!!!!”
“Bu, dimana? Kinan pulang bawa bunga kesukaan Ibu.”
“Ibu, bibik, paman, ibu dimana??” kinan manghapiri sanak saudaraya namun apalah artinya ia tak menghiraukan
pertanyaan kinan bahakan menoleh pun tidak.
Penyesalan menyelimuti diri kinan dengan rasa
yang kini tak bisa ia pungkiri hanya ada ulangan kata maaf, dan segenap
penyesalann yang berkecamuk menyelimuti
diri kinan.
“Aku mengecewakan permintaan terahirmu padaku
ibu, aku menyesal ibuuuuuu!! Maafkan aku”
Sesekali ia menoleh segelintir orang sekitarnya yang beraut pilu tenggelam
dalam kesedihan. Sadar benar ia pada
kesalahannya hingga orang-orang marah padanya tanpa memperdulikan dia. Dengan
cepat ia menelusuri pemakaman yang tak jauh dari rumah masih dengan bunga mawar
putih ditangannya dan kekeh untuk memberikan bunga terahirnya. Seribu kali
logikanya menolak dengan tegas bahwa hasil tangkapan matanya tak sperti apa yang ia pikirkan.
Jelas sudah yang ada di pelupuk matanya
kebingungan dan ketidak berdayaannya menguatkan rasa yang pada apa yang ia
lihat.
Isak tangis mewarnai sore hari yang kelam itu. Angin sepoy menusuk
tanpa ampun pada hati seorang wanita. Gerimis berlomba, mencabik-cabik tubuhnya
yang semampai. Tampak seorang perempuan kebingungan melihat pusaran makam yang
terbentang dikerumunan orang-orang. Seketika ia menoleh pada orang
disekelilingnya. Bertanya, namun tak ditanggapi.
“Apa yang sudah terjadi hanya menjadi buih abu penyesalan
yang berlalu, hanya ini bunga terahirku
mamah.
Jika aku diberi kesempatan aku takkan sia-siakan cukup ingin
bersujud bersimpuh memohon ampun pada kakimu ibuuku.
Memeluk erat
tubuhmu memberikan semua yang kau mau dan menjadi kakak terbaik bagi adikku dan
kebangganmu...ibu...
Titip ibuku ya Rabb jikala penjagaanku tak sampai dalam
sikap yang sahaja...
Sayangi ia sayang dan rinduku tak sampai dekapan yang
nyata..
Berikan tempatku dihatinya dalam setipa doanya disujudnya
kepadamu...
Karena Engkau punya segala yang ku tak punyaa....
Aku mencintaimu ibu..
Dari dunia yang berbeda kini aku hanya bisa
sadari bahwa ibu orang yang paling berarti dihidupku”
Kinan
anastasia.......
FLASH BACK
Toko Bunga:
“Yang, berhenti sebentar, ya? Mau beli bunga dulu buat ibu dia minta di
belikan mawar putih seperti biasa, untuk depan ruang tamu aku kan semalem ga
pulang, semoga Ibu gak marah” ujar Kinan pada kekasihnya. Sambil menuruni motor
dan hendak menyebrang, Gilang
melanjutkan.
“Tapi, yang. Putar balik saja ya biar kamu ga nyebrang” tawar Gilang.
”Ga perlu, yang. Tinggal nyebrang kok, segitu khawatirnya.
Aku bukan anak kecil. Ga lama kok. Nanti aku kesini lagi. Kamu tunggu
disini saja ya” Kinan balik
menawar.
Sesampainya di toko bunga:
“Selamat datang di toko bunga kami ada yang
bisa kami bantu mau cari bunga apa, Mbak?” Tanya penjual bunga.
“Satu bucket
mawar putih ya, biasa ya bang Ikin. Kaya kesiapa aja deh kelangganan.” Sikap ramah dengan senyum manis kinan yang tak biasa, membuat penjual bunga itu bergegas mengikuti ucapan pelanggan
lamanya.
“Oh siap. Mangga, neng. Di tunggu sebentar, ya. Saya
ambilkan. Ini note spesialnya kali aja mau di kasih puisi buat pacarnya yang
nunggu di sebrang. Hehehehe” Begitu canda bang Ikin si penjual bunga langganan kinan.
“Apa deh bang
Ikin, buat Ibu tau” Gerutu Kinan.
Karena rasa sesalnya, Kinan menuliskan kata maaf dan sedikit puisi untuk
ibunya di note yang penjual bunga itu berikan. Kinan tak sabar melihat ekspresi Ibunya dengan sikapnya yang tak biasa.
“Neng, ini mawar putihnya sepesial buat mamahnya
neng Kinan. Masih segar dan fresh, loh. Hehehe. Panjang bener pusisinya neng
kaya buat ke pacar. Biasanya kalo bang Ikin tawari suka ga mau. Di kira so romantis”
“Bawel deh!!”
Kinan buru-buru mengambil bunga yang sudah menajdi hak miliknya. “Terima kasih ya,
Bang. Ini uangnya, udah
ditungguin pacar nih, di sebrang.” Dengan nada centil dan penuh semangat, Kinan
meninggalkan florist tersebut.
“Hati-hati
nyebrangnya, neng.”
Kinan pun
berlalu. Namun, siapa sangka, saat
perjalanannya meninggalkan florist, merupakan saat terahir Kinan menghembuskan nafasnya. Bucket bunga
mawar putih dan puisi sederhana yang
tergeletak di tengah jalan, mewakili hatinya dan menjadi saksi bisu atas penyesalan terhadap sang Ibu. Dalam langkahnya menghampiri Gilang, Kinan tertabrak
mobil berkecepatan tinggi.
Comments
Post a Comment