Author : Tinta Ilmiati
Sudah sepekan, setiap malam aku tidak bisa
tidur dengan baik. Setiap aku tidur awal sekitar jam delapan atau paling malam
jam sepuluh, aku selalu terbangun tengah malam. Dan anehnya, waktu aku terbangun
selalu tepat di pukul 00.21 waktu bagian jam waker ku. Dan itu terus berlanjut hingga malam-malam sekarang.
Aku terbangun karena sebuah mimpi, mimpi
yang sama dari satu malam ke malam berikutnya. Dalam mimpi itu, aku berada di teras
kamar kos ku dan sedang bermain bersama anak kecil yang bahkan namanya saja aku
tidak tahu. Namun aku merasa begitu akrab dengannya, aku senang, dia pun
terlihat begitu menikmati setiap tawa yang kami ciptakan.
Ia anak laki-laki yang usianya sekitar
empat tahunan. Memakai kaos bergambar tokoh kartun animasi Upin- Ipin. Wajahnya
begitu manis, menggemaskan, tawanya selalu bisa membuatku ingin lama-lama
dengannya, terlebih ia terlihat begitu nyaman dengan permainan merebut bola
yang kusuguhkan. Namun, akhir dari mimpi ini selalu melekatkan suatu tanya yang
tak biasa, hingga terus ku pikirkan sampai malam berikutnya datang kembali.
Saat anak itu berlari-lari mengejar bola,
ia tiba-tiba memutarkan arahnya ke tempatku berdiri. Ia tampak gembira kemudian
menatapku, bahkan sempat tersenyum memamerkan gigi-giginya yang mungil. Dan
saat ia berlari, ia terjatuh, lalu terguling-guling dan tergeletak tepat satu
senti saja di depan kakiku. Tak lama ia terbangun, kemudian memuntahkan cairan
berwarna merah. Seperti darah, ya, sepertinya itu memang darah. Bercecearan di
keramik-keramik putih yang kini putihnya tertutupi bercak-bercak berwarna merah.
Anak itu tak sadarkan diri, aku yang
menyaksikan seluruh kejadian ini tentulah merasa cemas. Entah seperti apa
bentuk wajahku, hanya saja aku merasakan keringat mengalir dingin di punggung
dan leher ku. Dengan sedikit ragu, aku bermaksud membangunkan anak itu,
memeriksa apakah ia baik-baik saja atau mungkin dia mati? Ah, aku sama sekali
tak berpikir apa-apa, segera ku mengangkat lengan yang menutupi wajah
mungilnya, kuperiksa urat nadinya, namun aku tak merasakan apa-apa. Semakin aku
mencoba merasakan denyutan yang belum ku temukan, semakin kuat aku menekan
jemariku di pergelangan nadi nya.
Aku masih sibuk mencari denyutan pada nadi
nya, hingga tiba-tiba saja seseorang memegang pergelangan tangan kananku dari
belakang dengan kuat. Aku menoleh kearahnya dan melihat beberapa makhluk entah
apa itu, bentukannya seperti gerombolan manusia yang mengenakan jubah serba
hitam, wajahnya pun tidak terlihat. Cukup banyak, mungkin sampai lima orang.
Mereka menyeretku sampai kurang lebih tiga kilo meter dengan sekejap mata,
sekilat cahaya.
Makhluk-makhluk berjubah hitam pun
menghilang, meninggalkan aku dengan baju lusuhku yang kemudian tergeletak tak
berdaya. Meninggalkan cerita yang belum sempat ku mengerti. Tentang anak
laki-laki itu, tentang warna dunia yang tiba-tiba gelap, tentang diseretnya
tubuhku oleh makhluk yang jenisnya saja aku tak ketahui.
Mimpiku berakhir diposisi seperti itu,
tergeletak di sebuah jalan yang tak bernama pun tak berpenghuni. Tepat, melihat
jam yang duduk di atas meja di samping tempat ku merebahkan raga. Jarum
pendeknya mengarah pada angka dua belas lebih sedikit, sedangkan jarum panjangnya
berada diposisi angka empat lebih satu titik. Sama seperti kemarin.
“Ah, ini sudah malam ke empat aku tidur
dengan keadaan yang begini.” Ujarku sambil terbangun dari tempat tidur. Dan
sudah empat hari pula keringat di tubuhku begitu membasahi bantalan sprey yang aku tiduri. Segera ku
mengambil handphone yang terpajang manis di atas meja. Ku lihat ada beberapa notification yang tertinggal. Bermaksud
mengurangi suasana yang terasa begitu mencekam, kubuka semua pesan dan beberapa
notif dan pada akhirnya bermain
handphone sampai pagi kembali menyapa.
Hangatnya mata hari pagi mulai menembus ke
setiap tulang belulang tubuhku. Dengan nyanyian burung perkotaan, wajahku pagi
ini terlihat begitu kusut. Mataku menghitam, aku tak bisa tidur senyenyak
biasanya setelah mimpi itu datang beberapa malam lalu.
Sial, hari ini ada kuliah pagi dengan dosen
yang tak bisa ditebak moodnya seperti
apa. Ini menyebalkan, dan ketakutan ini benar-benar harus berakhir. Ada apa di
balik cerita mimpi yang terus berulang-ulang setiap malamnya. Ada apa dengan
anak kecil yang ku temui dalam mimpi itu. Ada apa dengan pasukan makhluk hitam
nan mengerikan yang menarik tanganku. Apa yang harus aku lakukan agar ini
berakhir?
Pikiran seperti itu terus berlanjut
mengganggu, meski sedang makan, meski sedang mandi, dan meski seperti sekarang,
sedang kuliah pagi. Filsafat Islam mengawali perkuliahan hari ini, pemikiranku
semakin kacau dengan pembahasan mata kuliah yang rumit ini, ah kacau.
“Kausar!”
“Kausar!!?”
“Sar, itu kamu dipanggil, ih!” Asep
menyenggol sikutku yang tepasang di dagu.
Aku cukup terkejut karena tiba-tiba berpindah
dari dunia lamunku yang semerawut ke dunia nyata. Dosen Filsafat Islam yang
biasa dipanggil prof. Polis tiba-tiba berkata pada seluruh mahasiswa yang ada
di kelas.
“Teman-teman disini seharusnya tahu, dalam
Islam, perasaan takut itu tidak berdasar, kecuali hanya takut kepada Allah.
Percaya pada hal yang seharusnya tidak kita percayai dan merasa takut secara
berlebih hanya akan menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Paham, Kausar?” kurang
lebih seperti itu prof. Polis menyampaikan kata-katanya.
Aku sendiri kaget, mengapa prof. Polis
bisa setepat sasaran itu terhadapku. Aku paham betul apa yang dimaksudkannya,
mungkin bagi teman-teman yang lain apa yang aku pahami ini tak bisa mereka
pahami. Tapi, prof. Polis tahu masalahku dari mana? Baca pikirankah? Ah, aku
lega, setidaknya ada yang bisa ku ajak bicara mengenai kekhawatiran yang
menggangguku selama ini.
Hingga perkuliahan berakhir, aku
benar-benar ingin bicara dengan prof. Polis dan mengetahui apa yang sebenarnya
sedang ku alami. Aku mengejarnya tatkala ia keluar dari kelas,
“Prof. Polis?”
Ia menghentikan langkahnya kemudian
menoleh ke arahku dan bertanya dengan menunjukkan senyumnya yang tenang.
“Iya, ada apa? Mau bertanya?”
“Hehehe, iya, prof.”
“Yuk, cari tempat yang enak buat ngobrol.
Di ruang dosen, ya.”
“Sekarang?”
“Iya, secepatnya lah gak usah dinanti-nanti. Keburu banyak nanti dosa kamu.”
Aku tak begitu menghiraukan perkataannya,
yang jelas aku merasa senang karena ada yang mengerti dan mau menolongku. Tiba
di ruang dosen, aku mengawali pembicaraan ini. Menceritakan apa yang menjadi
gangguanku secara rinci, tak ada yang tertinggal satupun. Aku menceritakan
semua, dari anak kecil, makhluk-makhluk hitam, dan mimpi yang terus berulang
dari satu malam ke malam lainnya.
“Apakah semua itu pertanda bahwa hidup
saya akan berakhir begitu?” Spontan saja aku betanya begitu, aku terlalu
khawatir akan hal-hal yang buruk hendak menimpa ku. Namun, belum sempat
menajwab kekhawatiranku, prof. Polis malah tersenyum raut meledek.
“Nak, terlalu berlebihan. Tenang lah, kamu,
saya, dan semua yang ada di dunia ini pasti mati.” Suasana menjadi hening
sejenak. Angin sepoy memelukku dengan sejuta kesejukannya. “Kamu apa kabar
selama ini? Masih suka shalat?”
Seketika saja sejuknya angin membuatku
berkeringat, ia tak lagi sejuk, malah terasa menusuk-nusuk sampai ke rusuk.
“Kamu mungkin benar, takut akan kematian.
Tapi itu bukan poin yang harus kamu khawatirkan sekarang. Hal yang mendasar
saja seperti shalat, kamu tak mengingatnya. Apa harus melalui jalan yang
seperti ini Tuhan merindukan diibadahi olehmu?”
Air mata ku menetes, mata kiri dan mata
kanan saling berbalasan. Aku benar-benar tak mengerti perasaan macam apa ini,
yang jelas, ini lebih condong ke perasaan malu. Aku terlalu mengkhawatirkan
tanpa bertindak, takut kematian tapi tak takut meninggalkan shalat. Seperti
inikah rasanya ditampar Tuhan?
Comments
Post a Comment