Perjalananku sebagai pendosa sebenarnya sudah ingin aku akhiri beberapa tahun silam. Terus hidup dalam cemoohan masyarakat dan dianggap sebagai aib di keluarga sendiri, lelahnya luar biasa. Apalagi, jika harus sampai sembunyi-sembunyi dari pencarian polisi karena perbuatan kacauku bersama kawanku. Sesekali bayangan untuk menjalani kehidupan yang layak tanpa tekanan dari sana-sini berkelebat dalam pikiran di sebelum waktu tidurku. Namun selalu, selalu kuurungkan niat itu.
Pernah, di satu masa aku benar-benar lelah dengan segala hal yang
disebut ‘pencarian jati diri’ ini. Saat itu, kawanku meminta agar aku menggantikan
tugasnya memerdekakan para penikmat sakau. Aku menolaknya, karena, ya, saat itu
aku sedang khilaf dan benar-benar lelah. Namun, pertama kali saat aku merasa
lelah dan tidak melakukan yang seperti biasa kulakukan, aku malah bingung. “Apa
yang harus aku lakukan? Menjauhi kawan-kawanku? Rasanya tidak mungkin, hidupku sudah
bergantung pada mereka. Meminta mereka untuk merasakan kelelahan yang sama
denganku? Hah, lebih baik aku bunuh diri saja. Beribadah? Aku bahkan tak tahu
caranya.” pikirku bimbang.
Saat
kebingungan ini hampir berada di ujung, aku tak sengaja dipertemukan dengan
kawan lama. Namanya Marwan, Marwan setidaknya membuatku berbagi segala
keresahan ini. Ia selalu lebih pandai dariku, ilmu agamanya jelas jauh di atasku,
terlebih ia pernah nyantri. Marwan sepertinya paham maksud pembicaraan ini
tanpa harus kujelaskan secara detail.
“Lalu kenapa
sampai sekarang masih saja enggan meninggalkan?” tanya Marwan padaku sambil
menyeruput kopinya.
“Aku bukan
bermaksud mengurungkan niat, aku hanya bingung, apa yang harus kulakukan
pertama kali dan setelahnya?” aku masih merasa kebingunganku belum terjawab.
“Begini, Jun,
kamu tentu paham, terus-terusan melakukan hal ini melelahkan untuk dirimu
sendiri dan tidak ada gunanya.” Suasana menjadi hening, sebentar.
“Meski kamu jarang bahkan hampir tidak pernah beribadah, tapi
mungkin kamu setidaknya tahu apa yang kamu perbuat itu dosa, dosa besar, Jundi.”
Lanjut Marwan.
Aku memecah keheningan.
“Ini, ini yang kumaksud. Ini yang membuatku selalu mengurungkan...”
aku meninggikan suaraku dengan nada kesal. “Kenapa orang-orang
sepertimu, yang beragama luhur, yang katanya penunjuk arah Kebenaran, selalu
saja menyentil masalah dosa. Oke, iya aku sangat paham bahwa apa yang aku
perbuat selama ini adalah dosa. Tidak shalat, melawan orang tuaku, mabuk-mabukan,
menyebar ganja dan masih banyak lagi yang lain, aku tahu, itu dosa.” Aku menghela
napas, “tapi kenapa? Setiap kali aku mendengar orang-orang sepertimu bicara,
mereka hanya bisa menilai yang ini dosa, yang ini tempatnya di neraka, tanpa
memberi tahu kepada kami yang terlanjur berdosa ini bagaimana cara
menyembuhkannya?”
Marwan hanya
terdiam mendengarkanku bicara. Aku tidak tahu dari mana pikiran itu muncul dan hanya
mengungkapkan apa yang ku tahu. “Jika orang-orang seperti mu juga usil dalam
hal pahala dan dosa, lantas Tuhan melakukan apa?”
Comments
Post a Comment